Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu Rusyd
menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat
bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa
perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah mutakhirin
berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah
untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua
pendapat-pendapatan diatas berdasarkan pada kepentingan kemaslahatan dan
pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai alasan-alasan. Namun Ibnu Rusyd
menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini
disebabkan adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt yang menyatakan :
disebabkan adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt yang menyatakan :
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka
kawinilah satu saja ”.
(QS. An-Nisa’ : 3). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454
).
“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda)
diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan”.
(Q.S. An-Nur : 32). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454)
Hadits tentang penikahan adalah :
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu
kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi :
1229).
Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang
berbeda pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan.
Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum
muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian kalau
dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan dari
perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib,
Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).
1. Pernikahan
hukumnya Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk
melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus
dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin
dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk
menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat
tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman :
“ Hendaklah orang-orang yang tidak
mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia
berkata : telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai golongan orang-orang
muda! Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang
demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan
barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri
bagimu”.(Ibnu Hajar
Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).
2. Perkawinan
hukumnya Sunnah
Adapun bagi orang-orang yang
nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya
dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari
bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun
tidak dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa
Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya Allah menggantikan
cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).
3. Perkawinan
hukumnya Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak
mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar
tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan
keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak
istrinya. Allah berfirman :
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an
dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)
4. Perkawinan
hukumnya Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah
syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan
istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga
makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan
sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
5. Perkawinan
hukumnya Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak
oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar