Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada
Ijab dan Qabul, dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan
diucapkannya Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan
adanya pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah
sebentar.
Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada
lamaran seorang pria kepada seorang wanita, dengan mempergunakan surat
(tulisan) kemudian wanita itu memanggil 2 (dua) orang saksi lalu membacakan isi
surat sambil berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka sahlah
perkawinan itu.
Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi
setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
- Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.
- Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh).
- Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan).
- Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
- Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya.
- Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka.
- Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
- Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sop.
- Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi Q. II: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954 jo. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi presiden ri no. 1 tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.
Menurut Sajuti Thalib, S.H., terjadinya nikah itu
ialah sesudah dipenuhi semua baik rukun maupun syarat perkawinan, seperti
adanya calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki persetujuan yang
bebas di antara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya, disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin dari orang tua
wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah) diiringi dengan ijab
(penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta qabul (penerimaan) dari
pengantin laki-iaki.
Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut selesai
diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya nikah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar