WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN
A.
Awwalan
Azmil Mukarrom, MHI |
sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya Utsman bin Affan dengan istrinya Rukayyah (puteri Nabi), Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Ja’far bin Abu Thalib. Rombongan yang kedua terdiri dari delapan puluh tiga pria dan tujuh belas wanita (Hayat Muhammad: 154). Dalam rombongan kedua ini, ikut serta Ubaidillah bin
Jahasy dengan istrinya Ramlah binti
Abi Sofyan. Setelah beberapa bulan di Habsyah, Ubaidillah bin Jahasy merubah
agamanya menjadi pemeluk agama Nasrani, namun tidak berapa lama ia meninggal.
Istrinya, Ramlah tinggal di Habsyah tanpa ada yang membiayai, maka Negus (raja)
Habsyah yang sudah memeluk agama Islam mengirim surat kepada Rasulullah agar
bersedia mengawini Ramlah dengan mahar sebesar 4000 dinar dan Rasulullah
menerimanya. Yang bertindak sebagai wali nikah Ramlah adalah Negus Habsyah
karena Ramlah tidak mempunyai wali nasab di Habsyah. Baru kemudian, pada tahun
ketujuh hijriah, Surahbil bin Hasanah membawa Ramlah ke Medinah dan merubah
namanya menjadi Ummu Habibah (Tarikhu al Islam al Siasi I: 90). Abu Dawud dalam
Sunnahnya mengabadikan peristiwa ini dalam tiga buah riwayat yang diterimanya
dari Ummu Habibah. Inilah wali hakim pertama dalam sejarah Islam yang terjadi
di Habsyah. Peristiwa ini terjadi dalam perkawinan Rasulullah SAW sendiri
dengan istrinya yang bernama Ummu Habibah, yang pada waktu itu menjadi salah
seorang yang berhijrah ke Habsyah untuk menyelamatkan agamanya.
B.
Subtantif
Keadaan
yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak
ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya sekufu; wali nasab berada di
tempat yang jauh sekitar 95 km dari tempat wanita yang ingin menikah; wali
nasab dianggap hilang atau tidak diketahui keberadaannya, hidup atau matinya;
calon suami juga adalah wali nikah perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram
haji atau umrah.
Wali
hakim dalam negara RI adalah presiden, yang melimpahkan wewenangnya dalam
masalah wali ini kepada Menteri Agama dan Menteri Agama melimpahkannya kepada aparatnya
yang terbawah melalui tauliyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada
beberapa pasal mengenai wali hakim. Dalam pasal 1 sub b diterangkan: "Wali
hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali
nikah". Dalam pasal 23 diterangkan: (1) Wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan, (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut. Jadi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengikuti pendapat jumhurul
ulama yang mengatakan wali sebagai syarat sahnya pernikahan, yang apabila tidak
ada atau pada keadaan tertentu, maka wali hakim dapat tampil sebagai wali
nikah.
Musykilat:
1. Pendapat
Madzhab Syafii: apabila wali yang lebih dekat (aqrab) itu ghaib dari perempuan yang akan dinikahkan sejauh
perjalanan qasar maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim karena wali
yang ghaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih jauh
hubungannya.
2. Pendapat
Madzhab Abu Hanifah, perempuan itu dinikahkan oleh wali yang lebih jauh
hubungannya dari wali yang ghaib menurut susunan wali dengan alasan karena wali
yang jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat, hanya yang dekat itu
didahulukan karena lebih utama, apabila ia tidak dapat menjalankannya maka
keutamaannya itu hilang dan berpindah kekuasaannya kepada wali yang lain
menurut susunan yang semestinya. Wali hakim adalah wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali, sedangkan dalam hal ini wali yang selain ghaib itu ada, maka hakim
belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.
3. KHI
Pasal 53 Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.. (azzaniyatu la yankihuha
illa zanin..). Hemat kami anak (perempuan) hasil zina yang lahir kelak bila
menikah menggunakan wali hakim berapapun usia kehamilan ibunya, karena si anak
tetap anak dari perbuatan zina. Pendapat tentang kesempatan 6 bulan hamil sejak
aqad hingga lahir bisa menjadi wali kurang kuat karena bertentangan dengan
teknologi modern. Menggunakan ayat “wa
hamluhu wa fishaluhu tsalatsuna syahra” (hamil dan menyusui 30 bulan) lalu
dikurangi “haulaini kamilaini liman arada
ayyutimmarradha’ah” (menyusui 24 bulan) jadi hamilnya 6 bulan saja bila
jelas-jelas yakin hamil diluar nikah maka tidak bisa dianggap premature dan
tetap anak hasil zina.
4. KHI Pasal 99 dan UU No 1 tahun 1974 Pasal 42; Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Menurut
hemat penulis tidak berarti ayah yang menikahi ibunya bisa menjadi wali karena
proses konsepsi dilakukan sebelum aqad nikah dan ayah biologis tersebut tidak
bisa menjadi wali nikah (lihat buku hijau BAB terakhir tentang pemeriksaan wali
dan calon mempelai). Bila calon mempelai wanita anak pertama dan walinya wali
ayah, perlu ditanyakan tanggal nikah dan dan tanggal lahir anak pertamanya
itu. Bila terdapat ketidakwajaran,
seperti baru lima bulan menikah ternyata anak sudah lahir, maka anak tersebut
masuk kategori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil jalan tahkim (wali
hakim).
5. Perhatikan
makna tersirat dari pasal 44 UU RI tahun 1974; Seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa
istrinya telah berzina dan anak itu
akibat dari pada perzinaan tersebut. Pertanyaannya: bagaimana bila sangat
yakin bahwa anak tersebut akibat perzinaan sebelum nikah siapapun ayah
biologisnya?
6. Wanita
hamil memungkinkan dinikah oleh laki yang tidak menghamilinya dan wali anaknya
wali hakim.. yajuzu nikahul hamili
minazzina sawaun azzani aw ghairuhu..(Bughyatul Mustarsyidin hlm 21), ..yajuzu nikahul hamili minazzina li anna
hamlaha la yulhaqu bi ahadin fa kana wujuduhu ka’adamihi (Almuhadzdzab juz
2 hlm 46).. lihat pula almuharramat
tidak termasuk wanita hamil tanpa suami.
7. Status
anak zina; kullu mauludin yuladu ‘alal
fithrah tetapi pembuahan diluar nikah adalah anak hasil zina, terhadap
lelaki yang menyebabkan kelahirannya, si anak tidak mempunyai hak ke-ayah-an;
mereka berdua tidak bisa saling mewarisi dan tentu ayah biologis tersebut tidak
bisa menjadi wali nikah bila anak tersebut perempuan dan hal ini tentu lebih-lebih
laki-laki (suami ibunya) bukan ayah biologisnya. Menurut para ulama kecuali
mdzhab Hanafi, anak hasil hubungan diluar nikah (perzinaan) tidak mempunyai
hubungan nasab dengan laki-laki yang disebut ayah biologisnya itu. Kata aba-akum dalam ayat tentang hukum
pernikahan (QS An-Nisa’: 22 Wa la tankihu
ma nakaha aba-ukum minannisai alla ma qad salafa..) yang berarti ayah-ayah
kamu secara lafdzi memang bisa memasukkan ayah kandung dari anak diluar nikah
seperti pendapat Abu Hanifah. Tetapi kebanyakan ulama seperti Syafi’i dan
Maliki lebih memandang makna syar’i katimbang lafdzi. Sehingga lafadz aba-akum hanya memasukkan ayah yang sah
dalam nikah.
8. Kata
wali dalam UU No 1 tahun 1974 tidak selalu berkonotasi dengan wali nikah (lihat
pasal 50) begitu pula dalam KHI pasal 107.
9. Kontradiksi;
di lapangan penulis tidak menjumpai penghulu berani mensahkan seorang perempuan
menikah dengan menggunakan wali ayah angkat meskipun hukum positif telah
tertulis sebagaimana UU No 1 tahun 1974 pasal 55 tentang pembuktian asal usul
anak.. (Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang).
10. Toleransi
solusi menikahkan pezina dengan pezina tanpa diberitahu konsekuensi hukum Islam
berarti turut menyuburkan maraknya perzinaan. Pezina muhsan seharusnya dihukum mati dengan dirajam. Pezina ghairu muhsan
seharusnya didera 100x dan diasingkan keluar negeri (dipenjara) selama 1 tahun.
C.
Akhiran
Demikian
tulisan singkat ini sebagai umpan untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam diskusi hukum Islam. Tentu saja pendalam dan masukan konstruktif
educative sangat penting guna temukan format terbaik untuk pelayanan masyarakat
dengan berlandaskan syari’at Islam. Semoga ridhaNya beserta kita, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar