Ada beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara
lain:
1. Larangan
perkawinan karena berlainan agama;
2. Larangan
perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;
3. Larangan
perkawinan karena hubungan susuan;
4. Larangan
perkawinan karena hubungan semenda;
5. Larangan
perkawinan poliandri;
6. Larangan
perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;
7. Larangan
perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;
8. Larangan
perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);
9. Larangan kawin
bagi pria yang telah beristri empat,
Penjelasannya sebagai berikut :
1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama
Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang
berbunyi. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada manusia, supaya mereka mengambil
pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari
Q.II: 221.
a. Ibnu Abi
Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW, agar dia dapat
diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat
terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah
Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q.II: 221. Yang melarang
laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim
menikahi laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al
wahidi).
b. Abdullah bin
Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu itu
ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal,
lalu menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan
itu dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela
dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau
melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu:
“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah
lebih baik daripada wanita musyrik.”
Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi
Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah
asbabun alnuzzul (asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak
(hamba sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita
nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga fatwa MUI DKI
Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan antaragama).
2. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang
Terlampau Dekat
Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga),
perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan
mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan
kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan
Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).
a. Q. IV: 23a.
Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi
ibu kandung karnu.
b. Q .IV: 23b.
Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi
anak perernpuan kandungmu.
c. Q. IV: 23c.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi
saudara kandungmu yang perempuan.
d. Q. IV: 23d.
Dilarang karnu rnenikahi anak
perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.
e. Q. IV: 23e.
Dilarang kamu menikahi anak
perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.
f. Q. IV: 23f.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi
saudara kandung perempuan dari ibu kamu.
g. Q. IV: 23g.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi
saudara kandung perempuan dari ayah karnu.
Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam
arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga
termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah
menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah hubungan
seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian majazi
(metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan seorang
pria.
Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara
ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara
seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa
agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut (lihat
pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).
3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan Q. IV: 23 terdapat aturan
tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan
wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek)
dengan ibu (wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh
karenanya timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan sesusu
(sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah menyusu
itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.
Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu
(menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan
antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak
laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita) tempat dia menyusu itu
pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab hanafiah
tersebut seperti juga, hambali dan imam malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan
kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau
berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan
perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut
medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi
darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila menyusui itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa
pendapat imam syafi’i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam)
termasuk penulis.
h. Q. IV: 23h.
Dilarang kamu menikahi perempuan di
mana kamu pernah menyusui.
i.
Q. IV: 23i.
Dilarang kamu menikahi perempuan
sesama susuan yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan
perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu
(laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang
perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara
suami dari kakakladik perempuan itu dengan kakaknya perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar,
demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri
dengan anak tiri.
j.
Q. Iv: 23j.
Dilarang kamu menikahi ibu istri
kamu (mertua kamu yang perempuan).
k. Q. Iv: 23k.
Dilarang kamu menikahi anak tiri
kamu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu
campuri, dan apabila istri kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu
menikahi anak tiri itu.
l.
Q. Iv: 231.
Dilarang kamu menikahi istri anak
shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan).
m. Q. IV: 23
Jangan kamu menikahi saudara istri
kamu yang perempuan, kecuali apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu
menikahi dua orang perempuan bersaudara sekaligus).
n. Q. IV: 24.
Dihalalkan bagi kamu selain dari
yang secara limitatif ditegaskan demikian (lihat juga Q. XXXIII: 24, 35 dan 37
peristiwa zaid bin haritsah dan zainab binti jahsyin.
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan
semenda, tetapi lebih bersifat khusus
larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan
semenda, tetapi lebih bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal
larangan ini diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian
ini yaitu, Q.IV: 22.
“jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh
Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji.”
larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar
dengan ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan kata-kata
jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat dibenci dan dimarahi
illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapaknya (ibu
tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja perempuan yang
masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang telah dicerai baik
cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai
Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri
abu qais itu (menikahi bekas ibu tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai
anakku, dan engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada
rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.”
Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani
bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak
laki-iaki yang ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya,
apakah akan menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais
(anak abu qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu
warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai
haknya, setelah nabi muhammad saw. Berdoa turunlah Q. IV: 22 itu. Rawahul ibnu
saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi. 5)
6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24
Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang
sedang bersuami.
Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah berupa
larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi
dengan laki-iaki lain).
dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu
Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu
itu kaum muslimin mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa
wanita ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau
dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV: 24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h
juga para tawanan wanita yang masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin
yang berhak atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber
dari ibnu abbas.?)
7. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an
li’an diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6
atau Surah An Nuur. (cahaya).
Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk
selama¬ lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara
bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya mempunyai
hubungan dengan ibunya.
7. Larangan menikahi wanita pezina maupun laki-laki
pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus
dicegah dari segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga
keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian
perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja,
kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga
kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai nuur ayat 3).
Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan
baik¬baik. Ia hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan
perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baik¬baik. Dia hanya dapat
menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik. Demikian
ditetapkan oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin melakukan di luar
ketentuan allah tersebut.
8. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)
Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri
tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian
tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q. II:
230.
Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak
yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah
dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan bekas istri itu)
untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum allah.
9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang telah
mempunyai istri 4 (empat) orang
Seperti telah penulis uraikan pada bab I pengertian
tentang perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah
monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang
berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati
anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.
Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami
tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4 (empat) orang istti. Apabiia seseorang
sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk
kelimanya (istri keiima). Q. IV: 3 juncto Q. IV: 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar