A. Pengertian
Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” menurut bahasa berasal
dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta,
saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung
pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus
kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin
pria).
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry
mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh ‘ala Mazaahib Al Arba’ah :
الولى
فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه
“Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya
(wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas
dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang
melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan
syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak
sah.
Wali ada yang bersifat umum dan ada
yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu
wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.
Dalam pembahasan skripsi ini yang
akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu
tentang perwalian dalam pernikahannya.
B. Syarat-syarat
Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan
tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu
maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat
tersebut adalah :
1. Islam (
orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal
(orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki
(perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang
fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang
ihrom atau umroh.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih
Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut :
Syarat-syarat wali ialah merdeka,
berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi
wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri
apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama
Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan
Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:
…ولن يجعل
الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
” … Dan Allah tidak akan
sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin
(Q.S. An Nisa: 4/141)
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai
Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali
adalah :
1. Beragama
Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak
dipaksa
5. Terang
lelakinya
6. Adil (bukan
Fasik)
7. Tidak sedang
ihrom haji atau umroh
8. Tidak
dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur
bissafah).
9. Tidak rusak
pikirannya karena tua atau sebagainya.
Dari beberapa pendapat diatas,
dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum
adalah :
Orang yang bertindak sebagai wali
bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab orang yang bukan beragama
Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :
…ولن يجعل
الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
” … Dan Allah tidak akan sekali-kali
memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa:
4/141)
Anak-anak tidak sah menjadi wali,
karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak
secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
عن علي رضي
الله عنه عن النبي ص.م. قال : رفع القلم عن أمتى عن ثلاثة : عن النائم حتّى
يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود)٨
“Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda :
Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang
yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia
bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”. ( H.R. Abu
Daud)
Hadits diatas memberikan pengertian
bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah
dewasa.
Seorang wanita tidak boleh menjadi
wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi
perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
عن أبى هريرة
رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة
نفسها (رواه ابن ماجه والدارقطنى)٩
“Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah
SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan
dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni ).
Sebagaimana diketahui bahwa orang
yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah
orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga
orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.
Jadi salah satu syarat menjadi wali
adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.
Telah dikemukakan wali itu
diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang
baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang
dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya
dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
SAW:
عن عمران بن
حصين عن النبي ص.م. قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل)١٤
“Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda:
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).
Berdasarkan hadits diatas, maka
seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan
wali dalam pernikahan.
C. Fungsi dan
Kedudukan Wali
1. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki
jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad
nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan
persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad
nikahnya sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin
menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya
anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan
daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang
menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di
masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang
pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena
wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan
ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali
dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk
mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.
2. Kedudukan
wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat
atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan.
Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan
keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa
pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi’I
dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun
perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan
yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang mereka
kemukakan, diantaranya:
1. Q.S. An Nur/24 : 3
وأنكحوا
الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور\ (٣٢ :٢٤
“Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan…” (Q.S. An
Nur:24/ 32).
2. Hadits Nabi SAW dari Abi
Musa Al Asy’ari.
عن ابى موسى
عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ص.م.: لا نكاح إلا بولي (رواه
أحمد و الأربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن حبان)۱۷
“Dari Abi Musa Al- Asy’ari dari
Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada suatu pernikahan
kecuali dengan adanya wali” (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu
Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir
menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan
sempurnanya akad nikah.
3. Hadits yang diriwayatkan
oleh Aisyah
عن عائشة رضي
الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها
باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن
اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد) ١٨
” Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah
SAW bersabda: “Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya
batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah
disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka
jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang
yang tidak ada wali.” (HR. Ahmad).
Hadits
diatas mengandung beberapa pengertian
· Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka
hukumnya batal Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan
halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.
· Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau
memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.
Selain itu mereka berpendapat
perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka
dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga
tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini
mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah
diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai
dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf
(murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita
itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan
dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232
وإذا
طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن … (البقرة\٢: ٢٣٢)
” Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…” (Q.S. Al-Baqarah: 2/
232).
Menurut mereka ayat diatas merupakan
dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a.
yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
عن
ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى
نفسها و إذنها صما تها, وفى رواية لأبى داود والنسائى : ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه بخرى و مسلم)۱۹
” Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata :
Nabi SAW bersabda: “Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya
dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada
suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa’I: “Tidak ada urusan wali terhadap janda;
dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)”(HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya
kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan
orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai
persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini
dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah
syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah
dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat
menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah
menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali
bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan
pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah
perkawinan).
Selanjutnya Imam-imam yang lain pun
berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, 3 di antaranya:
a. Daud Dzahiry,
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad
nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat
b. Asy- Sya’bi
dan Az- Zuhry, Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami
tidak sekufu’ dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu’, maka
wali tidak menjadi syarat.
c. Abu Tsur, Beliau
berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali
tidak memberi izin.
D. Macam-macam
Wali
Wali dalam pernikahan secara umum
ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan
lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.
Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang
terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab
urutannya adalah:
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak).
3. Saudara laki-laki sebapak.
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah.
6. Paman (saudara dari bapak) kandung.
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak.
8. Anak laki-laki paman kandung.
9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak).
3. Saudara laki-laki sebapak.
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah.
6. Paman (saudara dari bapak) kandung.
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak.
8. Anak laki-laki paman kandung.
9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah
Urutan diatas harus dilaksanakan
secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak
telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada
kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah
ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas.
Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.
Ada beberapa hal yang menjadikan
perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh wali yang lebih jauh. Seperti
dikemukakan di bawah ini:
Wali yang lebih berhak tidak ada,
wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak menderita sakit gila, wali
yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa
diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan
wanita itu beragama Islam.
Jika wali yang lebih berhak tidak
ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan
urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar
ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu
wali sultan atau hakim.
Wali nasab terbagi dua. Pertama,
wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang
perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali
mujbir. Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya
dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
· Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
· Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya.
· Calon suami itu mampu membayar mas kawin.
· Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta.
· Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
· Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya.
· Calon suami itu mampu membayar mas kawin.
· Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta.
Dengan demikian dapatlah diambil
suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan
adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan diatas tidak
terpenuhi maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum
dinikahkan. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa
atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman
yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya anggota
keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.
Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang
diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.
Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
1. Calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2. Walinya
mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
3. Wali sendiri
yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak
ada.
4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
5. Wali berada
dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
6. Wali sedang
melakukan ibadah haji atau umroh.
7. Anak yang
lahir diluar Nikah (dia hanya bernasab dengan ibunya).
8. Walinya gila
atau fasik.
Apabila terjadi hal-hal seperti
diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila
wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali
sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya
berhak menjadi wali.
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim
adalah KUA Kecamatan.
Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang
diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad
nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai
wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya
terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki. Apabila
suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat
itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang
mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar