Minggu, 16 Februari 2014

WALI HAKIM



WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN


A.    Awwalan
Azmil Mukarrom, MHI
              Wali adalah orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya dimana tanpa izinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah.  Apabila wali nasab tidak ada atau dalam keadaan tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada hakim yang dinamakan dengan wali hakim. Dalam sejarah setelah agama Islam berkembang di Mekkah, orang-orang Quraisy merasakan adanya ancaman terhadap kekuasaan mereka di Mekkah, karenanya mereka mulai melancarkan berbagai gangguan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dan memperhebat siksaan diluar perikemanusiaan terhadap umat Islam. Nabi SAW kemudian menyuruh umat Islam berhijrah ke Habsyah pada tahun kelima kenabian. Berangkatlah rombongan yang pertama yang terdiri dari
sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya Utsman bin Affan dengan istrinya Rukayyah (puteri Nabi), Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Jafar bin Abu Thalib. Rombongan yang kedua terdiri dari delapan puluh tiga pria dan tujuh belas wanita (Hayat Muhammad: 154). Dalam rombongan kedua ini, ikut serta Ubaidillah bin
Jahasy dengan istrinya Ramlah binti Abi Sofyan. Setelah beberapa bulan di Habsyah, Ubaidillah bin Jahasy merubah agamanya menjadi pemeluk agama Nasrani, namun tidak berapa lama ia meninggal. Istrinya, Ramlah tinggal di Habsyah tanpa ada yang membiayai, maka Negus (raja) Habsyah yang sudah memeluk agama Islam mengirim surat kepada Rasulullah agar bersedia mengawini Ramlah dengan mahar sebesar 4000 dinar dan Rasulullah menerimanya. Yang bertindak sebagai wali nikah Ramlah adalah Negus Habsyah karena Ramlah tidak mempunyai wali nasab di Habsyah. Baru kemudian, pada tahun ketujuh hijriah, Surahbil bin Hasanah membawa Ramlah ke Medinah dan merubah namanya menjadi Ummu Habibah (Tarikhu al Islam al Siasi I: 90). Abu Dawud dalam Sunnahnya mengabadikan peristiwa ini dalam tiga buah riwayat yang diterimanya dari Ummu Habibah. Inilah wali hakim pertama dalam sejarah Islam yang terjadi di Habsyah. Peristiwa ini terjadi dalam perkawinan Rasulullah SAW sendiri dengan istrinya yang bernama Ummu Habibah, yang pada waktu itu menjadi salah seorang yang berhijrah ke Habsyah untuk menyelamatkan agamanya.

B.     Subtantif
              Keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya sekufu; wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 km dari tempat wanita yang ingin menikah; wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui keberadaannya, hidup atau matinya; calon suami juga adalah wali nikah perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.
              Wali hakim dalam negara RI adalah presiden, yang melimpahkan wewenangnya dalam masalah wali ini kepada Menteri Agama dan Menteri Agama melimpahkannya kepada aparatnya yang terbawah melalui tauliyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada beberapa pasal mengenai wali hakim. Dalam pasal 1 sub b diterangkan: "Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah". Dalam pasal 23 diterangkan: (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan, (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Jadi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengikuti pendapat jumhurul ulama yang mengatakan wali sebagai syarat sahnya pernikahan, yang apabila tidak ada atau pada keadaan tertentu, maka wali hakim dapat tampil sebagai wali nikah.

Musykilat:
1.      Pendapat Madzhab Syafii: apabila wali yang lebih dekat (aqrab) itu ghaib dari perempuan yang akan dinikahkan sejauh perjalanan qasar maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim karena wali yang ghaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih jauh hubungannya.
2.      Pendapat Madzhab Abu Hanifah, perempuan itu dinikahkan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dari wali yang ghaib menurut susunan wali dengan alasan karena wali yang jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat, hanya yang dekat itu didahulukan karena lebih utama, apabila ia tidak dapat menjalankannya maka keutamaannya itu hilang dan berpindah kekuasaannya kepada wali yang lain menurut susunan yang semestinya. Wali hakim adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, sedangkan dalam hal ini wali yang selain ghaib itu ada, maka hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.
3.      KHI Pasal 53 Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.. (azzaniyatu la yankihuha illa zanin..). Hemat kami anak (perempuan) hasil zina yang lahir kelak bila menikah menggunakan wali hakim berapapun usia kehamilan ibunya, karena si anak tetap anak dari perbuatan zina. Pendapat tentang kesempatan 6 bulan hamil sejak aqad hingga lahir bisa menjadi wali kurang kuat karena bertentangan dengan teknologi modern. Menggunakan ayat “wa hamluhu wa fishaluhu tsalatsuna syahra” (hamil dan menyusui 30 bulan) lalu dikurangi “haulaini kamilaini liman arada ayyutimmarradha’ah” (menyusui 24 bulan) jadi hamilnya 6 bulan saja bila jelas-jelas yakin hamil diluar nikah maka tidak bisa dianggap premature dan tetap anak hasil zina.
4.       KHI Pasal 99 dan UU No 1 tahun 1974 Pasal 42; Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Menurut hemat penulis tidak berarti ayah yang menikahi ibunya bisa menjadi wali karena proses konsepsi dilakukan sebelum aqad nikah dan ayah biologis tersebut tidak bisa menjadi wali nikah (lihat buku hijau BAB terakhir tentang pemeriksaan wali dan calon mempelai). Bila calon mempelai wanita anak pertama dan walinya wali ayah, perlu ditanyakan tanggal nikah dan dan tanggal lahir anak pertamanya itu.  Bila terdapat ketidakwajaran, seperti baru lima bulan menikah ternyata anak sudah lahir, maka anak tersebut masuk kategori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil jalan tahkim (wali hakim).
5.      Perhatikan makna tersirat dari pasal 44 UU RI tahun 1974; Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. Pertanyaannya: bagaimana bila sangat yakin bahwa anak tersebut akibat perzinaan sebelum nikah siapapun ayah biologisnya? 
6.      Wanita hamil memungkinkan dinikah oleh laki yang tidak menghamilinya dan wali anaknya wali hakim.. yajuzu nikahul hamili minazzina sawaun azzani aw ghairuhu..(Bughyatul Mustarsyidin hlm 21), ..yajuzu nikahul hamili minazzina li anna hamlaha la yulhaqu bi ahadin fa kana wujuduhu ka’adamihi (Almuhadzdzab juz 2 hlm 46).. lihat pula almuharramat tidak termasuk wanita hamil tanpa suami. 
7.      Status anak zina; kullu mauludin yuladu ‘alal fithrah tetapi pembuahan diluar nikah adalah anak hasil zina, terhadap lelaki yang menyebabkan kelahirannya, si anak tidak mempunyai hak ke-ayah-an; mereka berdua tidak bisa saling mewarisi dan tentu ayah biologis tersebut tidak bisa menjadi wali nikah bila anak tersebut perempuan dan hal ini tentu lebih-lebih laki-laki (suami ibunya) bukan ayah biologisnya. Menurut para ulama kecuali mdzhab Hanafi, anak hasil hubungan diluar nikah (perzinaan) tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang disebut ayah biologisnya itu. Kata aba-akum dalam ayat tentang hukum pernikahan (QS An-Nisa’: 22 Wa la tankihu ma nakaha aba-ukum minannisai alla ma qad salafa..) yang berarti ayah-ayah kamu secara lafdzi memang bisa memasukkan ayah kandung dari anak diluar nikah seperti pendapat Abu Hanifah. Tetapi kebanyakan ulama seperti Syafi’i dan Maliki lebih memandang makna syar’i katimbang lafdzi. Sehingga lafadz aba-akum hanya memasukkan ayah yang sah dalam nikah.
8.      Kata wali dalam UU No 1 tahun 1974 tidak selalu berkonotasi dengan wali nikah (lihat pasal 50) begitu pula dalam KHI pasal 107.
9.      Kontradiksi; di lapangan penulis tidak menjumpai penghulu berani mensahkan seorang perempuan menikah dengan menggunakan wali ayah angkat meskipun hukum positif telah tertulis sebagaimana UU No 1 tahun 1974 pasal 55 tentang pembuktian asal usul anak.. (Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang). 
10.  Toleransi solusi menikahkan pezina dengan pezina tanpa diberitahu konsekuensi hukum Islam berarti turut menyuburkan maraknya perzinaan. Pezina muhsan seharusnya dihukum mati dengan dirajam. Pezina ghairu muhsan seharusnya didera 100x dan diasingkan keluar negeri (dipenjara) selama 1 tahun.

C.    Akhiran
              Demikian tulisan singkat ini sebagai umpan untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam diskusi hukum Islam. Tentu saja pendalam dan masukan konstruktif educative sangat penting guna temukan format terbaik untuk pelayanan masyarakat dengan berlandaskan syari’at Islam. Semoga ridhaNya beserta kita, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar